Selametan Bubur Suro: Tradisi Khas Cirebon yang Sarat Makna.
Selametan Bubur Suro merupakan salah satu tradisi khas Cirebon yang penuh nilai sejarah, budaya, dan keagamaan. Tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharam (disebut juga bulan Sura dalam kalender Jawa) sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan terhadap berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam.
Asal-Usul Selametan Bubur Suro.
Tradisi Selametan Bubur Suro diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 atau 16 M dan diinisiasi oleh Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Songo. Ritual ini awalnya bertujuan untuk melestarikan ajaran leluhur tentang pentingnya bersedekah di bulan Sura. Peristiwa bersejarah yang diperingati dalam tradisi ini meliputi:
- Taubatnya Nabi Adam AS kepada Allah.
- Selamatnya bahtera Nabi Nuh AS dari banjir bandang.
- Selamatnya Nabi Ibrahim AS dari api hukuman Raja Namrud.
- Dibebaskannya Nabi Yusuf AS dari penjara.
- Kesembuhan Nabi Ayyub AS dari penyakit kulit.
- Selamatnya Nabi Musa AS dan umatnya dari kejaran Firaun.
- Peristiwa tragis terbunuhnya Sayyidina Husain bin Ali di Karbala.
Ritual ini terus dilestarikan di Keraton Kanoman, Cirebon, sebagai pewaris trah (garis keturunan atau silsilah) Sunan Gunung Jati.
Prosesi Ritual Selametan Bubur Suro.
Pelaksanaan ritual Selametan Bubur Suro dimulai setelah waktu Ashar, bertepatan dengan pergantian hari dalam kalender Aboge. Berikut adalah tahapan prosesi secara sistematis:
- Persiapan di Pendopo Jinem: Keluarga keraton berkumpul di Pendopo Jinem atau di bawah pohon beringin di depan pendopo. Pangeran Patih kemudian menghadap Sultan untuk meminta izin memulai prosesi.
- Perjalanan ke Pendopo Paseban: Setelah mendapatkan izin, Pangeran Patih berjalan menuju Pendopo Paseban, diikuti keluarga keraton, abdi dalem, dan masyarakat. Perjalanan ini melewati Pintu Kejaksan, yang menjadi rute sakral dalam setiap ritual.
- Doa Tawasul dan Syukur: Sesampainya di Pendopo Paseban, Pangeran Komisi meminta izin kepada Gusti Pangeran Patih untuk memulai doa tawasul dan doa syukur. Penghulu keraton memimpin doa sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
- Pembagian Bubur Suro: Setelah doa selesai, Pangeran Komisi menginstruksikan abdi dalem untuk membagikan Bubur Suro kepada masyarakat, abdi dalem, dan keluarga keraton. Pembagian dilakukan secara tertib sesuai jumlah dan takaran yang telah ditentukan.
Makna dan Nilai Filosofis Bubur Suro.
Bubur Suro bukan sekadar makanan tradisional. Berikut adalah makna dan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya:
- Keagamaan: Mengingatkan umat Islam pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang menunjukkan kebesaran dan kasih sayang Allah.
- Kebudayaan: Pelestarian tradisi leluhur yang telah diwariskan sejak zaman Wali Songo.
- Kebersamaan: Meningkatkan solidaritas antara masyarakat dan keluarga keraton.
- Rasa Syukur: Manifestasi rasa syukur atas berkah dan keselamatan.
Bubur Suro: Ikon Tradisi Cirebon.
Bubur Suro terbuat dari bahan-bahan sederhana namun penuh makna. Dalam setiap suapan bubur, terkandung filosofi tentang kehidupan, kebersyukuran, dan kebersamaan. Penyajian Bubur Suro biasanya dilakukan dalam piring atau mangkuk tradisional untuk menjaga keaslian dan nilai budayanya.
Kesakralan Ritual di Keraton Kanoman.
Pelaksanaan Selametan Bubur Suro di Keraton Kanoman memiliki aturan baku (pepakem) untuk menjaga kesakralannya. Prosesi ini mencerminkan pentingnya tradisi ini dalam kehidupan masyarakat Cirebon. Setiap langkah dan tahapan dilakukan dengan penuh penghormatan, menjadikannya sebuah ritual yang sangat berharga.
Selametan Bubur Suro adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Tradisi ini bukan hanya mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan rasa syukur. Jika Anda berkunjung ke Cirebon, menyaksikan atau bahkan mengikuti prosesi ini akan menjadi pengalaman budaya yang tak terlupakan.